Monday, May 29, 2006

Suci Belum Bangun

Antonia Suci Nugraheni sudah benar-benar merampungkan sidang hukum alam. Ia memungkasi perjalanan hidupnya di usia muda, 18 tahun. Sabtu pagi, 27 Mei 2006, ia menjadi korban gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter. Diduga, ia tidak pernah menyadari kejadian itu. Sebab, ia sedang tertidur pulas. Belum bangun. Dan memang tidak pernah bangun. Jasadnya ditemukan tertimbun reruntuhan tembok kamarnya. Dan mungkin ia tidak pernah merintihkesakitan.

“Biasanya, saya ajak dia jalan-jalan pagi. Tapi pagi tadi tidak. Dia khan habis ujian, jadi ya saya biarkan bangun siang,” kurang lebih itu yang dikatakan bapaknya kepada Chandra, adik saya, dan teman-teman anaknya yang berkunjung ke rumah duka di Imogiri. Bapaknya jalan pagi sendirian. Benar, minggu sebelumnya Nia, begitu panggilannya, sudah menyelesaikan Ujian Akhir Nasional (UAN). Siswa kelas 3-IPS SMA Stella Duce 1 ini tentu lega telah menunaikan tugasnya dengan baik. Maka, barangkali, pagi itu ia ingin memuaskan diri dengan tidur lebih panjang. Sebab, selama bertahun-tahun, adik dari Windar, manuk De Britto 2004 ini harus selalu bangunsangat pagi supaya bisa tepat waktu sampai sekolah.

Maka, selama dua minggu berturut-turut ia menghadapi dua sidang, sidang sekolah dan sidang alam. Dan dua-duanya telah ia lampaui. Ia sudah lulus. Tanpa ijazah, hanya sertifikat kematian. Kini ia berbaring di kampus keabadian Kregan, perbukitan Imogiri, bersama dengan raja-raja Mataram. Rumahnya nyaris rata dengan tanah. Tinggal tembok depan dengan pintu dan kaca utuh, serta teras yang masih berdiri kokoh. Kehancuran inilah yang dijumpai bapak Nia ketika kembali dari jogging. Memang, ia masih mendengar permintaan tolong istrinya. Namun, terlambat, ajal sudah menjemput. Istrinya, Margareta Herma Wujinah, kembali ke pangkuan Allah dalam usia 48tahun.

Kampung Karangtengah, satu kilometer selatan Pasar Imogiri, memang rusak parah. Bukan hanya bangunan beton yang rubuh, bangunan kayu pun koyak. Ratusan manusia meregang nyawa. Saking banyaknya korban mati, tidak mudah menemukan rumah Nia. Di Pasar Imogiri,kepada orang-orang yang berjaga-jaga di pinggir jalan, lebih banyak orang yang geleng-geleng kepala daripada memberikan petunjuk. Butuh kesabaran untuk menemukan rumahnya di seberang hamparan padi hijau itu.

Saya tidak mengenal Nia secara dekat. Namun, saya pasti pernah bertemu dan bersalaman dengannya 27 Desember tahun lalu. Hari itu ada kami berkumpul di Seminari Kentungan untuk merayakan 25 tahun FKPK (Forum Kontak Pelajar Katolik). Dalam misa yang dipimpin Rm Noegroho Agoeng Pr itu, Nia membawakan bacaan pertama. Ia mengenakan baju merah dengan celana jins.

Minggu siang kemarin jenazah Nia dibaringkan di rumah kerabatnya tak jauh dari rumahnya. Rumah itu juga rusak, tapi halamannya masih cukup luas. Bersanding dengan jenazahnya, ia berbaring di halaman rumah. Mau apa lagi, tidak ada yang berani ambil risiko untukmembaringkan jenazah di dalam rumah.

Nia masih beruntung. Ratusan pelayat mengantarnya ke pemakaman Kregan, satu kilometer arah timur dari rumahnya. Begitu banyak teman yang takzim berdoa di samping petinya. Sungguh, ini pemandangan langka. Begitu banyak kematian selain dirinya kemarin. Dan kebanyakan sepi dari pelayat. Sebab, nyaris setiap orang yang potensial menjadi pelayat sedang sibuk menguburkan sanak familinya sendiri.

Pakde saya, yang tinggal di daerah Ganjuran, dalam dua hari telah memakamkan banyak tetangganya hanya dengan beberapa orang saja. Malah, sabtu kemarin, hanya berdua saja mengusung jasad ke liang lahat. Ya, hanya berdua saja. Menggali kubur hingga menimbunnya secara layak. Maka, hadirnya banyak pelayat di upacara kematian Nia sungguh pemandangan mewah hari kemarin.

kala mengepal,aa kunto a [96]
(tulisan ini saya comot dari milis tetangga-red)

No comments: